Sleman – Seorang gadis berusia 14 tahun asal Nunukan, Kalimantan Utara, Thresia Lipat Lema, terpaksa berhenti bersekolah, dan bekerja sebagai buruh ikat rumput laut. Keputusan ini dipilih sebab orangtuanya sakit dan tidak mampu lagi mencari nafkah.
“Saya berhenti (sekolah), kasian orangtua. Tidak ada mereka punya uang, tidak bekerja, sayalah yang bantu mereka. Biarlah berhenti sekolah, nanti kalau ada uang terkumpul bisa lanjut lagi sekolahnya” pungkas Thresia, dikutip dari laman Kompas.com, Selasa (06/10/2020).
Thresia merupakan salah satu cerminan dari banyaknya kasus anak putus sekolah di negara ini yang tak jemu menghiasi layar kaca. Anak putus sekolah (APS) merupakan anak usia sekolah (7-8 tahun) yang sejatinya bersekolah pada jenjang pendidikan sekolah dasar ataupun sekolah menengah secara formal, namun tidak dapat menyelesaikan program belajarnya karena terkendala faktor tertentu.
Sementara itu, pendidikan pada umumnya merupakan media untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara. Tak pelak jika antara pendidikan dengan kesejahteraan masyarakat memiliki kaitan yang erat. Sebab kesejahteraan merupakan muara yang hendak dicapai, dan pendidikan adalah kendaraan yang digunakan untuk menggapainya.
Secara tegas hal ini dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan bahwa salah satu tujuan utama bangsa Indonesia ialah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Untuk mencapai kehidupan bangsa yang hikmat dalam balutan kecerdasan, maka dibutuhkan upaya pendistribusian pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sesuai dengan Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, yang mana merujuk pada Ayat 2, dijelaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Kendati payung hukum telah bertitah sedemikian, namun realita di tengah masyarakat memperlihatkan bahwa sebagian dari mereka tidak dapat merasakan pendidikan. Kalaupun bisa, banyak dari mereka yang putus di tengah jalan, dan menyandang predikat sebagai anak putus sekolah. Dengan kata lain mereka ialah individu yang hanya sebatas “pernah” mengenyam pendidikan pada jenjang tertentu. Pada titik ini, pendidikan tak ayal menjadi sesuatu yang sukar untuk dijangkau. Bahkan menjelma sebagai hal mewah yang harus digadai dengan harga mahal.
Secara general, dikutip dari situs resmi Unicef.org, Jumat (25/09/2020), disebutkan sebanyak 4,4 juta anak dan remaja berusia 7-8 tahun masih tidak bersekolah. Mereka ialah anak-anak dari keluarga miskin, anak penyandang disabilitas, serta anak-anak yang bermukim di daerah tertinggal di negara ini. Bahkan PISA (Programme for International Student Assessment) 2015 juga menyebutkan bahwa banyak anak-anak yang masih harus berjuang untuk menguasai keterampilan akademik dasar. Disebutkan pula, kurang dari separuh siswa berusia 15 tahun di Indonesia yang memiliki tingkat kemahiran membaca minimum dan kurang dari sepertiganya yang mencapai tingkat kemahiran dalam matematika.
Berkaca dari data tersebut, isu anak putus sekolah (APS) maupun anak tidak sekolah (ATS) menjadi hal yang seksi untuk dibahas sekaligus penting tuk diberantas. Problema ini tidak bisa hanya ditelaah dari satu sudut pandang saja. Sebab permasalahan anak putus sekolah dapat dilatar belakangi oleh beragam faktor. Berbagai penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang mempengaruhi anak berhenti atau tidak bersekolah.
Kementrian PPN/Bappenas dalam Stranas ATS (Strategi Nasional Penanganan Anak Tidak Sekolah) di Indonesia tahun 2019 mengidentifikasi empat faktor dominan yang saling terhubung sekaligus menjadi penyebab anak tidak bersekolah. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan:
a. Segala hal tentang pengadaan layanan pendidikan dan pelatihan (supply side)
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan dan keinginan dari masyarakat untuk mengakses layanan pendidikan dan pelatihan (demand side)
Dua hal tersebut, oleh Kementrian PPN/Bappenas dirincikan kembali yang kemudian menjadi empat faktor utama yang mendasari seorang anak putus dan tidak bersekolah, sebagai berikut:
- Kurangnya ketersediaan dan keterjangkauan layanan pendidikan dan pelatihan di beberapa daerah
- Kurangnya relevansi serta mutu layanan pendidikan dan pelatihan dalam memenuhi kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat
- Hambatan ekonomi dan kemiskinan
- Hambatan yang berakar pada faktor sosial budaya dan persepsi negatif terhadap pentingnya pendidikan
Tidak hanya itu, sebuah studi yang dilakukan oleh UNICEF (United Nation’s Children’s Fun) tentang Anak Tidak Sekolah (ATS) di Indonesia mengidentifikasi berbagai faktor penyebab sehingga anak dan remaja usia sekolah di Indonesia tidak bersekolah. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan: keterpencilan dari daerah tempat tinggal peserta didik; ketertinggalan atau kesenjangan pembangungan daerah; kemiskinan dan latar belakang ekonomi keluarga; serta masih belum memadainya layanan pendidikan untuk anak -anak yang rentan seperti anak penyandang disabilitas. Studi ini juga mengidentifikasi bahwa masih banyak tantangan dari segi pemberian layanan pendidikan dan pelatihan, baik dari segi ketersediaan maupun kualitas serta relevansinya.
Kulminasi dari segala bentuk penelitian pun survei yang telah dilakukan terkait dengan problema ini sejatinya ialah untuk menemukan solusi kreatif nan efektif yang dapat diterapkan untuk meratakan akses pendidikan di Tanah Air. Sehingga seluruh anak Indonesia dapat menuntaskan pendidikannya hingga jenjang sekolah menengah atas (SMA), ataupun perguruan tinggi.
Kita sadari bahwa isu APS ini seyogyanya menjadi tanggung jawab bersama baik itu keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah (pusat maupun daerah), serta pihak terkait lainnya, untuk saling berkoordinasi membantu mengentaskannya.
Mengingat pendidikan tidak hanya penting bagi individu itu sendiri, tetapi juga pada kesejahteraan bangsa kedepannya. Secara nasional pendidikan yang ditempuh oleh warga negara turut memberi dampak positif diantaranya, pendidikan sebagai sarana pemerataan kesempatan dan perluasan akses. Kemudian pendidikan dapat meningkatkan mutu, relevansi, serta daya saing. Lalu pendidikan turut memberi pengaruh terhadap penguatan tata kelola, akuntabilitas, serta pencitraan publik yang baik.